LKTI Gender
Pembentukan Lingkungan Ramah Anak sebagai Upaya Pendidikan Holistik
Abstrak
Nurkhasanah.
2015. Pembentukan Lingkungan Ramah Anak sebagai Upaya Pendidikan Holistik.
Manajemen Pendidikan, Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta
Sasaran
teknologi era globalisasi tidak hanya orang dewasa melainkan anak-anak. Hampir 30
Juta anak Indonesia mengakses internet, terutama di wilayah Indonesia bagian
Timur dan Barat. Alhasil moralitas anak menjadi terkikis lantaran dampak
negatif dari penggunaan internet pada gawai. Padahal lingkungan keluarga merupakan
faktor utama pembentukan moral, karena orang tua sebagai suri tauladan bagi
anak yang dapat digugu dan ditiru. Penerapan keteladanan adalah upaya
pendidikan holistik supaya anak dapat membawa kedamaian, ketentraman dan
ketenangan bagi sesama dan alam ini. Sementara itu, lingkungan menjadi sumber
sosialisasi anak dengan rekan sejawat maupun orang dewasa lainnya. Peraturan
sosial lebih mudah mengatur anak dari pada peraturan sekolah. Maka dari itu,
dengan dibentuknya lingkungan ramah anak sebagai upaya pendidikan holistik
diharapkan anak bangsa saat ini lebih mampu menjalankan estafet kepemimpinan
Indonesia. Dukungan ini tidak hanya di sekolah tetapi peran masyarakat
difungsikan, supaya anak mampu membatasi diri dalam mendapatkan informasi. Pembentukan
lingkungan ramah anak sangat penting. Maka dari itu penulis bertujuan menjelaskan
pentingnya pembentukan lingkungan ramah anak dalam konteks pendidikan holistik.
Metode yang digunakan adalah kajian pustaka, berupa buku, jurnal dan hasil
penelitian yang relevan. Hasil yang diharapkan dari tulisan ini adalah
terumuskannya gambaran pembentukkan lingkungan ramah anak dalam konteks
pendidikan holistik, yaitu pengembangan pengetahuan, keterampilan dan sikap
anak.
Kata
Kunci: Moral, Internet, Lingkungan Ramah Anak, Pendidikan Holistik.
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Berdasarkan data Kementrian Komunikasi dan Informasi RI tahun 2014
lalu bahwa 82 Juta masyarakat Indonesia mengakses internet dan 30 Juta di antaranya
yakni anak-anak dan remaja, (KOMINFO RI, 2014). Realitanya bahwa bukan
pendidikan yang menguasai teknologi, tetapi teknologilah yang menguasai kita.
Dijelaskan dalam UU No.35 Pasal 21 Tahun 2014 bahwa Pemerintah Daerah berkewajiban dan
bertanggung jawab melaksanakan dan mendukung kebijakan nasional dalam
penyelenggaraan Perlindungan Anak di daerah, kemudian ditegaskan kembali dalam
ayat 6 bahwa pemerintah Daerah dalam melaksanakan kewajiban dan tanggung jawab
melalui upaya daerah membangun kabupaten/kota layak anak.
Dalam QS. Al-Isra’ ayat 70:
Artinya “Dan sungguh, kami telah muliakan anak cucu adam, dan kami
angkut mereka di darat dan di laut, dan kami beri mereka rezeki dari yang
baik-baik dan kami lebihkan mereka di atas banyak makhluk yang kami ciptakan
dengan kelebihan yang sempurna”.
Setiap anak yang lahir dijamin
kesuciannya, ia berhak mendapat pengasuhan dan pendidikan dari orang tua atau
walinya. Setiap anak memiliki hak fisik dan moral. Hak fisik itu antara lain
hak kepemilikan, warisan, disumbang, dan disokong. Hak moral antara lain,
diberikan nama yang baik, mengetahui siapa orangtuanya, mengetahui asal
leluhurnya dan mendapat bimbingan dalam bidang agama dan moral.
Pendidikan yang sejatinya merupakan usaha untuk
mengembangkan potensi kemanusiaan
yang utuh, justru tidak direalisasikan dalam kenyataan sehingga tidak secara
holistik anak mengampunya.
Perbandingan jumlah jam sekolah dengan di rumah yakni 8 jam : 16
jam, artinya pendidikan efektif berada di luar sekolah. Kini, mereka sudah
menjadi korban gaya hidup dari perkembangan zaman. Padahal kita ketahui, bahwa
anak-anak merupakan aset besar, karena Indonesia akan di pimpin mereka. Oleh
karenanya, kita harus bertindak secara nyata untuk menyikapi hal ini. Menyikapi
hal tesebut, pendidikan holistik menjadi upaya yang tepat dalam mengentas
kehilangan moralitas anak dan penulis tawarkan diimplementasikan dalam
pembentukkan lingkungan ramah anak.
B.
Tujuan Penulisan
Karya tulis ini bertujuan untuk menginformasikan khususnya kepada
orang tua, masyarakat, mahasiswa, praktisi dan para pemerhati anak Indonesia
tentang masalah moralitas akibat penggunaan internet yang menjadi perhatian
serius dan ditangani dengan menggunakan program yang tepat, mengingat anak-anak
merupakan perwujudan masa depan bangsa dan pemegang bangku kepemimpinan bangsa.
Selain itu, penulis ingin berpartisipasi aktif dalam kegiatan yang
diadakan oleh Pusat Studi Gender dan Anak UIN Syarif Hidayatullah Jakarta,
dalam Lomba Karya Tulis Ilmiah. Tujuan selanjutnya adalah untuk menambah
wawasan dan pengalaman penulis.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Moralitas Anak
Moral berarti kesusilaan, tabiat atau kelakuan ajaran kesusilaan. Moralitas
berarti hal mengenai kesusilaan (Salam, 2000:13). Driyakara mengatakan bahwa “moral atau kesusilaan”
adalah nilai yang sebenarnya bagi manusia. Dengan kata lain moral atau kesusilaan
adalah kesempurnaan
sebagai manusia
atau kesusilaan sebagai
tuntutan kodrat manusia
(Daroeso, 1986: 14). Huky (dalam Daroeso, 1986: 14) mengatakan
terdapat tiga cara dalam memahami moral, yaitu:
1.
Moral
sebagai tingkah laku hidup manusia, yang mendasarkan diri pada kesadaraan,
bahwa ia terikat oleh keharusan untuk mencapai yang baik sesuai dengan nilai
dan norma yang berlaku dalam lingkungannya.
2.
Moral
sebagai perangkat ide–ide tentang tingkah laku hidup, dengan warna dasar
tertentu yang dipegang oleh sekelompok manusia di dalam lingkungan tertentu.
3. Moral adalah
ajaran tentang tingkah
laku hidup yang
baik berdasarkan pandangan hidup
atau agama tertentu.
Dari beberapa pengertian di atas, bahwa moral memegang peranan
penting dalam tingkah laku baik buruknya anak. Dengan demikian, moral adalah
keseluruhan norma yang mengatur tingkah laku manusia di masyarakat untuk
melaksanakan perbuatan yang baik dan benar.
Objek moral adalah tingkah laku manusia,
perbuatan manusia, tindakan
manusia, baik secara
individual maupun secara
kelompok. Menurut Daroeso (1986: 15) dalam melaksanakan perbuatan
tersebut manusia didorong oleh tiga unsur, yaitu:
1.
Kehendak, yaitu pendorong
pada jiwa manusia
yang memberi alasan
pada manusia untuk melakukan perbuatan.
2.
Perwujudan
dari kehendak, yang berbentuk cara melakukan perbuatan dalam segala situasi dan
kondisi.
3.
Perbuatan tersebut
dilakukan dengan sadar,
dan kesadaran inilah
yang memberikan corak
dan warna perbuatan tersebut.
Ketika moral
ditanamkan kepada seorang anak, maka disebut moral. Moral yang dimaksud sebagai
dorongan menjadi manusia yang sadar terhadap norma-norma yang berlaku di
lingkungan.
B.
Memahami Lingkungan Ramah Anak
Indonesia sebagai bagian dari anggota PBB telah berkomitmen di
tingkat internasional yang ditandai dengan diratifikasinya Konvensi Hak Anak
melalui Keputusan Presiden No. 36 Tahun 1990. Indonesia juga berkomitmen untuk
mendukung gerakan dunia untuk menciptakan ”World Fit for Children”
(dunia yang layak bagi anak), melalui pengembangan Kabupaten/Kota Layak Anak
(KLA).
Hasil penelitian dari Kevin Lynch (arsitek dari Massachusetts Institute of Technology) di
4 kota – Melbourne, Warsawa, Salta, dan Mexico City – tahun 1971-1975 menunjukkan bahwa lingkungan kota yang terbaik untuk anak
adalah yang mempunyai komuniti yang kuat secara fisik dan sosial. Komuniti yang
mempunyai aturan yang jelas dan tegas, yang memberi kesempatan pada anak dan
fasilitas pendidikan yang memberi kesempatan anak untuk mempelajari dan
menyelidiki lingkungan dan dunia mereka. (www.kla.or.id)
Lingkungan
Ramah Anak terwujud melalui suatu kemitraan yang seluas-luasnya dengan
melibatkan semua pihak yang ada di lingkungan masyarakat. Kemitraan dapat
dibangun dengan melibatkan sektor swasta, tokoh
masyarakat, tokoh adat, pemerintah kota dari masing-masing departemen atau
sektor, organisasi non pemerintah, dan masyarakat sipil.
Perwujudan
lingkungan ini menjadi alat membantu lembaga pendidikan untuk bersama-sama
menjaga ke-natural-an anak ketika hedonisme masuk ke dalam lingkungan, seperti
penggunaan gadget tanpa batas, mengikuti budaya Barat tanpa norma, tindakan
kriminal dari hasil tontonannya di media elektronik.
Gambaran
pembentukkan lingkungan ramah anak sudah bermunculan diberbagai media, baik
elektronik dan digital sampai pada pembuatan website dengan situs
kabupaten/Kota Layak Anak. Hal ini diharapkan lingkungan bersama-sama
mengantarkan anak menuju masyarakat yang mampu memanusiakan manusia kelak.
C.
Pendidikan Holistik
Pengembangan fungsi anak yang berkualitas dalam dalam era global
jangan dianggap sebagai sistem tersendiri, tetapi merupakan bagian dari suatu
sistem yang lebih luas yaitu pendidikan holistik.
Pendidikan holistik secara maknawi adalah sebuah pemikiran secara
menyeluruh dan berusaha menyatukan beraneka kaidah setiap aspek kehidupan. Iwan
Purwanto (dalam Musfah, 2011:315)
Menurut Jejen Musfah, pendidikan holistik adalah pendidikan yang
memberikan pemahaman terhadap permasalahan global seperti HAM, keadilan sosial,
multikultural, agama dan pemanasan global, sehingga mampu melahirkan peserta
didik yang berwawasan dan berkarakter global serta mampu memberikan solusi
terhadap permasalahan kemanusiaan dan perdamaian. (Musfah, 2011: 4)
Karena praktik pendidikan selama ini dianggap gagal menjawab
tantangan dan kemelut zaman, maka pendidikan holistik sering dianggap sebagai
pendidikan alternatif. Menurut Ron Miller
bahwa “Holistic
education is a philosophy of education based on the premise that each person
find identity, meaning, and purpose in life through connections to the
community, to the natural world, and humanitarian values such as compassion and
peace. Holistic education aims to call forth from people an intrinsic reverence
for life and a passionate love of leraning.” (www.eng.wikipedia.com)
Proses pendidikan anak perlu tinjau ulang keberadaannya, karena
sedikit perubahan yang diciptakan dari pendidikan formal dalam membentuk anak
berkarakter yaitu jujur, disiplin, bertanggung jawab, religious, sopan santun,
peduli lingkungan, cinta tanah air, toleransi, kerja keras, kreatif, mandiri,
rasa ingin tau, semangat kebangsaan, semangat prestasi, cinta damai, gemar
membaca dan peduli sosial.
D.
Pembentukkan Lingkungan Ramah Anak sebagai Upaya Pendidikan
Holistik
Sejak dahulu pendidikan tanpa holistik pun dapat membentuk anak
cerdas pengetahuan, emosional dan spiritual, tetapi lain hal dengan keberadaan
kata pendidikan sekarang hanya menjadi kemelut dan program pemerintah saja
tanpa dukungan penuh dari lingkungan.
Alasan kuat menjadi tidak holistik karena teknologi era
globalisasi, secara psikologis dampak internet menjadi anak kecanduan dan tidak
terkontrol penggunaannya. Contohnya muncul
adiksi atau ketergantungan terhadap internet yang dampaknya dapat merambat ke
segala bidang psikologis seperti kecemasan. Saat seseorang mulai terbiasa dan
menggunakan internet secara terus menerus dan tak terkendali, maka bukanlah
keanehan saat diwaktu anak tidak dapat menggunakannya kecemasan pun muncul.
Sehingga seorang adiksi internet dapat seharian di depan komputer dan melakukan
kontak sosial yang minim atau bahkan tidak sama sekali dengan dunia nyatanya. (Mulyadi,
2011: 56)
Maka dari itu fungsi lingkungan harus dimaksimalkan dengan
bekerjasama dengan pihak masyarakat yaitu Kelurahan, RT, RW dan terpenting
yaitu lingkungan rumah (dalam keluarga).
Dengan menggunakan penerapan pendidikan holitik di lingkungan
masyarakat, seperti membatasi penggunaan gawai dalam ranah bermain, lingkungan
setempat mengadakan kegiatan positif, orang tua menjadi teladan dalam mendidik,
membuat kelompok bermain kecil di lingkungan, belajar dengan bimbingan orang
tua, membuat peraturan kecil di rumah dan lingkungan akan tercipta anak-anak
bangsa yang diinginkan bangsa dan negara yaitu 18 karakter bangsa Indonesia.
BAB III
KESIMPULAN
A.
Moral adalah keseluruhan norma yang mengatur tingkah laku manusia
di masyarakat untuk melaksanakan perbuatan yang baik dan benar.
B.
Lingkungan
Ramah Anak adalah perwujudan pembentukkan karakter anak pada lingkungan
masyarakat dengan berbagai macam kegiatan positif sekaligus pengawasan masyarakat
terhadap anak-anak sehingga terbentuk anak-anak dengan 18 karakter bangsa
dengan tujuan.
C.
Pendidikan
holistik adalah pendidikan yang memberikan pemahaman terhadap permasalahan
global, seperti HAM, keadilan sosial, multikultural, agama dan pemanasan global
sehingga mampu melahirkan peserta didik yang berwawasan dan berkarakter global
serta mampu memberikan solusi terhadap permasalahan kemanusiaan dan perdamaian.
D.
Anak-anak
sebagai estafet kepemimpinan bangsa harus sama-sama dibina oleh lingkungan keluarga
(bi’ah al-‘ailah), lingkungan sekolah (bi’ah al-madarsah) dan
lingkungan masyarakat (bi’ah al-mujtama’).
Komentar
Posting Komentar